Autobiography Kekuasaan dan Trauma Sejarah 2023

Autobiography: Drama penuh ketegangan yang mewakili Indonesia di berbagai festival film internasional. satu judul film memerlukan eksplorasi mendalam yang mencakup aspek naratif, teknis, konteks sosial, hingga pencapaian internasionalnya. Berikut adalah artikel komprehensif mengenai film “Autobiography”.

Autobiography Kekuasaan dan Trauma Sejarah 2023
Autobiography Kekuasaan dan Trauma Sejarah 2023

Menguliti Kekuasaan dan Trauma Sejarah: Bedah Tuntas Film “Autobiography”

Oleh: MELEDAK77
Pada Tanggal: 30/12/2025

Film bukan sekadar medium hiburan; ia adalah cermin retak yang memantulkan realitas sosial yang sering kali enggan kita bicarakan secara terbuka. Di tahun 2023, perfilman Indonesia dikejutkan oleh kehadiran sebuah karya debut dari sutradara Makbul Mubarak yang berjudul “Autobiography”. Sejak penayangan perdananya di Festival Film Venesia 2022 hingga rilis luas di bioskop Indonesia pada awal 2023, film ini telah menjadi pembicaraan hangat bagi para penikmat sinema, kritikus, hingga akademisi.

“Autobiography” bukan sekadar film drama kriminal biasa. Ia adalah sebuah alegori politik yang mencekam, sebuah studi karakter yang mendalam, dan sebuah pengingat bahwa bayang-bayang masa lalu kolonialistik serta otoriterisme tidak pernah benar-benar pergi dari tanah ini.

Sinopsis dan Fondasi Cerita

Berlatar di sebuah kota kecil yang fiktif namun terasa sangat familiar di pedesaan Indonesia, “Autobiography” mengikuti kisah Rakib (Kevin Ardilova), seorang pemuda yang bekerja sebagai penjaga rumah kosong milik seorang purnawirawan jenderal bernama Purna (Arswendy Bening Swara). Keluarga Rakib telah mengabdi pada keluarga Purna selama turun-temurun, menciptakan dinamika pengabdian yang buta dan penuh ketundukan.

Kehidupan Rakib yang tenang namun monoton berubah total ketika Purna pulang ke kampung halamannya untuk mencalonkan diri sebagai bupati. Rakib tidak hanya menjadi penjaga rumah, tetapi juga ajudan, supir, dan tangan kanan Purna dalam menjalankan kampanye politiknya. Di mata Rakib yang tumbuh tanpa sosok ayah (ayahnya dipenjara), Purna adalah sosok mentor dan figur ayah yang ia dambakan. Namun, hubungan ini perlahan-lahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap dan manipulatif.

Ketika sebuah aksi vandalisme merusak baliho kampanye Purna, loyalitas Rakib diuji. Purna menunjukkan sisi aslinya: seorang pria yang terbiasa menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk mempertahankan kehormatannya. Rakib terseret ke dalam spiral kekerasan yang memaksanya mempertanyakan nilai-nilai moralitasnya sendiri.

Bedah Karakter: Rakib dan Purna

Keunggulan utama “Autobiography” terletak pada penulisan karakternya yang sangat berlapis. Tidak ada hitam-putih yang mutlak di sini; yang ada hanyalah spektrum abu-abu yang meresahkan.

1. Rakib: Simbol Generasi yang Terperangkap

Rakib merepresentasikan generasi muda Indonesia yang lahir di masa transisi, namun tetap memikul beban trauma masa lalu. Ia adalah “tabula rasa” atau kertas kosong yang siap diisi. Kevin Ardilova memerankan Rakib dengan sangat brilian melalui bahasa tubuh yang cenderung kaku dan tatapan mata yang penuh rasa ingin tahu sekaligus ketakutan. Ketundukannya pada Purna bukan hanya karena pekerjaan, tetapi karena adanya kekosongan identitas yang ia harap bisa diisi oleh kharisma sang jenderal.

2. Purna: Manifestasi Otoriterisme

Arswendy Bening Swara memberikan performa terbaik dalam kariernya sebagai Purna. Purna adalah personifikasi dari Orde Baru yang masih berdenyut di bawah permukaan demokrasi kita. Ia sopan, berwibawa, dan sangat tenang—namun justru ketenangan itulah yang membuatnya sangat mengerikan. Ia tidak perlu berteriak untuk mengancam; cukup dengan sebuah tatapan atau instruksi pendek, ia bisa menghancurkan hidup seseorang. Purna adalah pengingat bahwa kekuasaan absolut selalu cenderung korup, dan mereka yang pernah memilikinya akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya kembali.


Analisis Sinematografi dan Estetika Visual

Visual dalam “Autobiography” adalah alat penceritaan yang sangat kuat. Sinematografer Wojciech Staroń menggunakan palet warna yang muram dan pencahayaan yang sering kali menyisakan bayangan gelap di wajah para karakter.

Penggunaan framing dalam film ini sering kali menempatkan Rakib dalam posisi yang terhimpit atau lebih rendah dibandingkan Purna. Rumah besar milik Purna yang tua, gelap, dan penuh dengan foto-foto militer berfungsi sebagai karakter tersendiri. Rumah itu adalah museum kekuasaan sekaligus penjara bagi Rakib. Setiap sudut ruangan seolah-olah mengawasi, menciptakan atmosfer klaustrofobik yang membuat penonton merasa tidak nyaman sepanjang film.

Keheningan juga menjadi elemen krusial. Film ini minim musik latar yang bombastis. Sebaliknya, Makbul Mubarak menggunakan suara-suara ambien—suara jangkrik di malam hari, deru mesin motor, atau langkah kaki di lantai kayu—untuk membangun ketegangan. Kesunyian ini memberikan ruang bagi penonton untuk merasakan beban moral yang dipikul oleh Rakib.


Tema Sentral: Warisan Kekerasan dan Loyalitas Buta

“Autobiography” adalah kritik tajam terhadap bagaimana kekuasaan diwariskan dan bagaimana kekerasan menjadi bahasa yang dinormalisasi dalam struktur masyarakat kita.

1. Hubungan Bapak-Anak yang Beracun

Film ini mengeksplorasi konsep patron-client yang sangat kental dalam budaya Indonesia. Purna mengambil peran sebagai “Bapak” bagi Rakib. Dalam budaya kita, membangkang kepada orang tua atau atasan sering dianggap sebagai dosa sosial. Purna memanfaatkan norma ini untuk mencuci otak Rakib, meyakinkannya bahwa apa pun yang mereka lakukan—termasuk kekerasan—adalah demi “kebaikan bersama” dan “kehormatan keluarga”.

2. Jejak Trauma Sejarah

Meskipun film ini tidak menyebutkan tahun atau peristiwa politik tertentu secara eksplisit, penonton Indonesia akan langsung menangkap referensi terhadap sejarah kelam bangsa. Purna adalah sisa-sisa dari sebuah sistem yang dibangun di atas ketakutan. Film ini menunjukkan bahwa meskipun sistem politik telah berubah menjadi demokrasi, mentalitas pelakunya tetap sama. Kekerasan tidak pernah hilang, ia hanya berganti wajah.

3. Hilangnya Moralitas dalam Politik

Proses kampanye Purna dalam film ini memperlihatkan betapa kotornya politik di tingkat akar rumput. Janji-janji pembangunan, manipulasi opini publik, hingga intimidasi terhadap lawan politik digambarkan dengan sangat realistis. Rakib, yang awalnya hanya ingin bekerja, perlahan-lahan menyadari bahwa ia telah menjadi alat bagi mesin politik yang tidak mengenal belas kasihan.


Prestasi Internasional dan Penerimaan Kritikus

Sebelum tayang di Indonesia, “Autobiography” telah berkeliling dunia. Film ini memenangkan penghargaan FIPRESCI Prize di Festival Film Venesia 2022, sebuah penghargaan bergengsi dari kritikus film internasional. Selain itu, film ini juga meraih Grand Prize di Tokyo FILMeX dan berbagai penghargaan di festival film dari Adelaide hingga Stockholm.

Para kritikus internasional memuji kemampuan Makbul Mubarak dalam meramu isu lokal menjadi narasi yang universal. “Autobiography” dianggap sebagai salah satu film thriller politik terbaik yang muncul dari Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir. Keberhasilan ini membuktikan bahwa cerita yang sangat spesifik tentang Indonesia pun dapat menyentuh hati audiens global jika dieksekusi dengan kejujuran artistik yang tinggi.

Di dalam negeri, film ini memenangkan Piala Citra untuk Skenario Asli Terbaik di Festival Film Indonesia. Meskipun secara box office film ini tidak meledak seperti film horor arus utama, “Autobiography” berhasil membangun basis penggemar setia dan memicu diskusi intelektual di berbagai komunitas film.


Mengapa “Autobiography” Penting bagi Penonton Indonesia?

Menonton “Autobiography” adalah sebuah pengalaman yang menantang. Ini bukan jenis film yang akan membuat Anda keluar bioskop dengan perasaan bahagia. Sebaliknya, film ini akan membuat Anda termenung dan mempertanyakan banyak hal.

  1. Refleksi Diri: Judul “Autobiography” itu sendiri adalah sebuah metafora. Siapa yang menulis autobiografi tersebut? Apakah Purna, yang mencoba menulis kembali sejarah kesuksesannya? Ataukah Rakib, yang sedang menulis sejarah hidupnya sendiri melalui tindakan-tindakannya? Atau justru kita sebagai bangsa, yang sedang menulis ulang identitas kita di atas luka-luka lama?

  2. Edukasi Politik: Film ini memberikan perspektif tentang bagaimana kekuasaan bekerja di balik layar. Ia mengajarkan penonton untuk lebih kritis terhadap figur-figur otoriter yang sering tampil penuh wibawa namun menyimpan agenda gelap.

  3. Standar Baru Film Indonesia: Secara teknis, “Autobiography” menetapkan standar yang sangat tinggi bagi para pembuat film muda di Indonesia. Ia membuktikan bahwa film dengan anggaran yang efisien namun dengan naskah yang kuat dan penyutradaraan yang visioner dapat menembus panggung dunia.


Kesimpulan: Sebuah Mahakarya yang Menghantui

“Autobiography” adalah sebuah pencapaian luar biasa dalam sejarah sinema Indonesia. Ia adalah film yang berani, sunyi, namun memiliki daya ledak yang dahsyat di dalam pikiran penontonnya. Melalui kisah Rakib dan Purna, kita diajak untuk melihat ke dalam lubang gelap sejarah kita sendiri dan bertanya: Sampai kapan kita akan terus melayani para “Purna” di hidup kita?

Film ini adalah pengingat bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar mati; ia bahkan tidak benar-benar berlalu. Ia terus hidup di dalam cara kita berpikir, cara kita patuh, dan cara kita memandang kekuasaan. Bagi siapa pun yang ingin memahami kompleksitas manusia dan bayang-bayang politik di Indonesia, “Autobiography” adalah tontonan wajib yang akan terus menghantui ingatan lama setelah layar menjadi gelap.


Di Tulis Ulang Oleh Meledak77

Scroll to Top